Suka tidak suka, zaman kini menutut kita untuk mau menggeluti media sosial. Apalagi bagi kamu yang sedang memiliki usaha kuliner. Karena media sosial akan menjadi ujung tombak pemasaran bagi bisnis mu. Namun tidak begitu saja, gaya iklannya harus beragam dan kreatif. Sehingga konsep jadi kata kunci penting.
Pada iklan kuliner, sangat diperlukan kemampuan untuk bagaimana menceritakan rasa makanan secara detail dan bagus. Baik diungkap dari media visual, tulisan serta penuturan langsung melalui konten video. Sedangkan bercerita dengan data, akan menjadi kekuatan tersendiri dari iklan kuliner.
Seperti dilansir dari Republika.co.id, salah satu kekuatan cerita tersebut diungkap oleh Culinary Storyteller Ade Putri Paramadita. Yang secara gamblang meminta para pelaku bisnis kuliner terus mengedepankan teknik storytelling.
Skill storytelling para pebisnis kuliner sangat diperlukan untuk bisa membalut sebuah produk, memberikan nilai tambah dan nilai jual tanpa melalui hard selling yang mudah ditolak oleh konsumen. Tentu hal ini termasuk dalam kelihaian berkisah asal usul kuliner, proses, rasa, hingga manfaatnya.
Kalau kita sedang menonton YouTube seringkali ada iklan yang tiba-tiba muncul, di sini lah caranya pengiklan memikirkan bagaimana iklannya bisa nyantol selain dengan tulisan diskon 70 persen. Dan biasanya, seringkali yang kita tonton sampai habis dan tidak di-skip adsnya adalah ketika storytelling.
Misalnya seorang ibu sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya, lalu ada sesuatu kejadian, itu biasanya bikin penasaran kelanjutannya bagaimana. “Padahal lagi mau nonton film tertentu tapi kita berlanjut tonton ads itu. Ada kekuatan storytelling,” kata Ade.
Lalu iklan makanan tradisional Indonesia, yang sudah kenal sih mungkin enak ya karena sudah tahu. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang belum pernah makan ini, bagaimana cara memberitahunya, apakah kita hanya bilang ‘oh ini makanan paling enak yang pernah ada di Jakarta’?
“Kalau cuma ngomong begitu, yang beli paling cuma 2 persen, sisanya kayak mikir ‘masih banyak kali tempat lain yang makanannya lebih enak’. Jadi ketika storytelling ini, banyak orang berpikir, apakah harus dengan kata-kata membuai dan cantik? Bukan, bukan itu. Storytelling bukan hanya tentang pemilihan kata. Itu urusan belakangan,” tutur Ade.
Storytelling lebih ke bagaimana orang bisa mendengarkan kita. Misalnya, hendak menjual sup merah dengan resep nenek kita, dan nenek kita hanya membuat makanan itu untuk hari perayaan besar. Di sinilah bagaimana menceritakan itu agar menarik, bukan hanya sekedar sup merah dan isinya, tapi menceritakan bagaimana nenek ini mengeluarkan menu spesial ini hanya pada acara tertentu, lantas ada apa isinya?
Kalau perlu ceritakan yang menarik dari prosesnya, misalnya ayamnya harus dipanggang dulu baru dimasukkan ke dalam sup agar tercipta rasa smoky. Tapi tidak sekedar itu, tambah lagi sejak mulai jualan bagaimana reaksi orang, jika nenek masih ada, apa tanggapan nenek setelah resepnya go public.
“Itu bisa jadi materi storytelling. Jadi storytelling itu nggak sempit dan nggak jadi patokan kata-katanya saja. Kita harus kenali produk, dan gali kisahnya,”ungkap Ade.
Dengan begitu, konsumen akan lebih mudah merasa lekat hingga ingin mencoba produk, yang nantinya dapat dinikmati tak hanya dengan indera pengecap saja.